Adakah Shalat Sunnat Syuruq atau Isyraq?
![]() |
Adakah Shalat Sunnat Syuruq atau Isyraq |
Qumedia - Petunjuk jalan tidak boleh bersifat kira-kira, tidak boleh bedasarkan keraguan. Karena keraguan adalah tanda kesesatan. Apalagi petunjuk jalan hidup yang pelabuhan akhirnya hanya dua : "surga atau neraka", hidup senang selamanya atau menderita dalam siksa tanpa akhir. Maka tersesat artinya neraka, membiarkan diri tenggelam dalam keraguan artinya binasa.
Al-Quran mengisyaratkan kepada manusia bahwa sesuatu yang pantas dijadikan petunjuk hidup oleh seorang yang bertaqwa adalah petunjuk hidup yang bebas dari keragu-raguan seperti Al-Quran, firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"itulah kitab [al-Quran] yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa" (QS. Al- Baqarah [2] : 2)
Oleh karena itu Rasulullah melarang umatnya mengikuti sesuatu yang meragukan, karena sesuatu yang meragukan adalah tanda kebohongan sedangkan sesuatu yang mentramkan adalah tanda sebuah kebenaran :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا : يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصَّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
"Rasulullah pernah bersabda: Tinggalkan apa yang meragukanmu, (pindahlah) kepada yang tidak meragukanmu, karena kejujuran itu ketenangan dan kedustaan itu meragukan" (Hr. At-Tirmidi dari Al-Hasan bin 'Ali ra., derajat hadis: shahih)
Maka dari itu Segala bentuk perkara yang disandarkan kepada Nabi (hadis) baik perkataan, perbuatan atau persetujuan (taqrir) Nabi yang digunakan sebagai dasar beramal penyandarannya harus bersifat yakin. Para ulama mengatakan hadisnya harus shahih atau hasan.
Hadis menjadi tidak sah penyandarannya (dlo'if) jika : Pertama: jelas bertentangan dengan al-Quran, karena tidak mungkin Nabi Mengajarkan sesuatu yang menyalahi petunjuk Al-Quran. Atau bertetangan dengan hadis lain yang lebih kuat (syadz & Mu'allal), Kedua: keadaan penyampai hadisnya (rawi) ada cacat dalam 'adalahnya yaitu cacat dalam akhlak keseharian dan/atau aqidahnya, seperti pendusta atau fasik. Atau cacat dalam dlabtnya, yaitu cacat dalam hafalannya atau kacau ketika menyampaikan hadis walau lewat catatannya. ketiga: jika disampaikan oleh rawi yang tidak mungkin saling bertemu, karena tidak sezaman misalkan (saqtun fil isnad) Karena jika demikian, ada keraguan apakah benar hadis itu berasal dari Nabi atau tidak? Dari siapa ia menerima hadis itu? Dari yang jujur atau pendusta? Dan lain sebagainya. (Menempatkan hukum dalam Agama: 70-73)
Kedudukan Hadis-Hadis Shalat Isyraq
Ada yang berpendapat bahwa terdapat syariat shalat sunnat Isyaraq sepert berikut ini: Syaikh Utsaimin berkata: "sunnat Isyaraq adalah sunnat dluha, bedanya pelaksanaannya anda lakukan di awal waktu, saat matahari sudah terbit, saat bayangan matahir sudah setinggi tombak, jika dilaksanakan di akhir atau di pertengahan waktu maka ia shalat dluha. (liqaa`ul- Baabil-Maftuuh : 141/25)
Namun menurut yang kami temukan pendapat tersebut berasal dari hadis-hadis berikut:
1. Dari Ibnu Abbas ra
Diriwayatkan bahwa ia tidak pernah melaksanakan shalat dluha hingga kami semua membawanya kepada Ummu Hani Ceritakanlah kepada Ibnu Abbas apa yang engkau ceritakan kepada kami, maka ia berkata: "Rasulullah pernah masuk ke rumahku lalu beliau shalat dluha 8 rakat", lalu ibnu Abbas keluar sambal berkata: "Aku benar-benar telah membaca Al Quran namun aku belum tahu shalat Isyaraq kecuali hari ini, lalu membaca :
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
"Mereka selalu bertasbih pada waktu petang dan waktu isyraq"
Lalu Ibnu Abbas berkata: "ini adalah shalat isyraaq" (Hr. Al Hakim, al Mustadrak 4/59 & Ibnu Jarir At Thabari) Derajat hadis Dalam sanadnya ada rawi bernama Sa'id bin Abi 'Arubah, dinilai lemah sebab mukhtalith (kacau hafalannya di masa tua) dan banyak tadlis, yaitu menyembunyikan perantara ia menerima hadis agar dianggap bagus riwayatnya. (tahdzibut-Tahdzib: III/80- 82), sementara itu dalam riwayat ini ia mengatakan: "An Abil-Mutawakkil", (dari Abul-Mutawakkil); sehingga tidak dapat dipastikan ia menerima langsung dari gurunya itu atau melalui perantara yang lain terlebih dahulu.
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ishaq bin Rahawaih (II/333) melalui rawi bernama Yazid bin Abi Ziyad, ia dinilai lemah oleh Ibnu Hajar karena mukhtalith (taqribut-Tahdzib: 717).
At-Thabarani juga meriwayatkan dalam Al-Mu'jamul- Ausath (IV/296) melaui rawi bernama Abu Bakar Al Hudzali, dia dinilai "matrukul-Hadiits" (dicurigai berdusta) al. oleh Imam An Nasa'I dan ad Da- ruquthni, bahkan Yahya bin Qathan mengatakan: "yukadzibu" (ia biasa ber- dusta). (Tahdzibut-Tahdzib VIII/157-158)
Imam at Thabari dalam tafsirnya juga meriwayatkan melalui Musa bin katsir dari Ibnu Abbas. Musa adalah tabi'ut-tab'iin pertengahan rawi generasi ke-6 versi Ibnu Hajar, dia tidak sejaman dengan sahabat manapun termasuk Ibnu Abbas. Maka sanad ini terputus (mungathi). (Tahzibut-Tahdzib VII/248, taqribut-Tahdzib: 652)
Periawayatan hadis di atas kecacatannya beragam ada yang karena terputus sanad (tadlis, munqathi), karena rawi yang berubah kacau hafalannya, bahkan ada yang tertuduh berdusta.
Keadaan periwayatan seperti ini tidak dapat saling menguatkan satu sama lain, karena hadis lemah yang dapat saling menguatkan hanya jika hadis-hadisnya bermasalah dalam hafalan saja, bukan berkiatan dengan sifat kefasikan atau terputus sanad. Orang yang lemah hafalan tapi shaleh bisa berkata benar karena jujur, namun perlu petunjuk untuk memastikan ia sedang berkata benar atau tidak. Petunjuk itu kata para ulama hadis berupa sanad dengan rawi minimal sama-sama hanya bermasalah dalam hafalan.
Seperti jika ada murid yang jujur tapi pelupa mengabarkan berita : "besok libur!", pasti anda akan ragu menerimanya, tapi jika yang mengatakannya ada beberapa orang, itu bisa jadi petunjuk bahwa ia sedang berbicara dalam keadaan ingat.
Sanad-sanad hadis pertama ini, bukan memberikan petunjuk bahwa rawi pelupa sedang berkata benar, malah memberikan masalah baru dengan rawi yang dicuriagi berdusta & banyaknya keterputusan sanad. Hingga menimbulkan pertanyaan dan dugaan lain, bisa jadi perantara penyambung yang terputus itu rawi pendusta? Atau pelupa? Atau orang jujur/kuat hafalan? Itu semua masih ragu-ragu. Sementara dalam beragama kita diperintahkan untuk meninggalkan suatu perkara yang meragukan. Da' maa yariibuka!
2. Hadis yang menjelaskan Ganjarannya seperti yang berhaji dan Umrah
Hadis yang menjelaskan keutamaan shalat dluha di awal waktu (shalat isyraq) ganjarannya seperti yang berhaji dan Umrah :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرٍ حَجَةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang shalat subuh berjama'ah kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit yang dilanjutkan dengan shalat dua raka'at, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah." dia berkata: Rasulullah bersabda: "Sempurna, sempurna, sempurna."(Hr. at-Tirmidzi, 'Aridlatul -Ahwadzi II/69, dari Anas bin Malik)
Di dalam sanad Hadis ini ada rawi Bernama Abu Zhilal, namanya Hilal bin Abu Hilal Al Qashmali, Yahya bin Ma'in dan An-Nasa'i mengatakan laisa bisyai'in" (dia bukan apa- apa). (tahdzibut-Tahdzib: VII/435)
Al-Hafizh Ibnu Mundzir menjelaskan komentar Imam "dia bukan Apa-apa" bagi seseorang yang dikenal oleh para ahli hadis sebagai rawi yang lemah menunjukkan indikasi kuat maksudnya adalah kecacatan yang par- ah bahkan sampai Matruk (dicurigai berdusta). (lihat: Al Mughni fii Alfaazhil- Jarh wat-Ta'dil: 86-87)
Sementara itu tidak ada imam yang menganggapnya kuat, penilaian imam Al Bukhari muqarabul hadis dan penilaian tsiqat dari Ibnu Hibban itu menurut Ibnu Hajar itu bukan untuk Abu Zhilal, karena keduanya mem- bedakan antara Hilal bin Abi Hilal dan Abu Zhilal. Untuk Abu zhilal malah imam al-Bukhari mengatakan "indahu manaakiir"(ia memiliki banyak hadis munkar), Ibnu Hibban juga memasuk- kannya ke dalam kitab ad-Du'afa (para rawi dla'if)(tahdzibut-Tahdzib: VII/435)
At-Thabarani juga meriwayatkan hadis ini dalam Al-Mu'jamul- Ausath (V/375) melalui rawi Bernama Al Fadlal bin Muwaffaq, Abu Hatim Ar -Razi mengatakan : "dla'iful- hadis"(orang yang lemah dalam hadis). lalu ia berkomentar: "kaana syaikhan shaalihan qaraabatan libni 'Uyainata wa kaana yarwii ahaadiitsa maudluu'atan" (Ia adalah syaikh yang shalih kerabat Ibnu 'Uyainah tapi ia biasa meriwayatkan hadis-hadis palsu). (Al Jarh wat-Ta'dil:7/68, Mizanul-I'tidal: III/358).
Juga dalam kitab Al-Mu'jamul-Kabir (VIII/154 & XVII/759) melalui Jalur Al-Ahwash bin Hakim, Ibnu Hibban mengatakan: "laa yu'tabaru bi riwaayatihi"(tidak [layak] dii'tibar dengan riwayatnya). (Tahdzibut-Tahdzib: I/217) maksudnya kecacatan yang parah. (Al-Mu'jamul- Wajiz li Alfazhil-Jarhi wat-Ta'diil: 83). Ia kemudian menjelaskan bahwa Al- Ahwash itu punya paham yang menyimpang tentang hadis, Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakar bin Ay- yasy ada yang berkata kepada Al Ah- wash: "Hadis Macam apa yang anda riwayatkan ini dari Nabi? Ia menjawab: "Bukankah semua hadis itu berasal dari Nabi?!". (Tahdzibut-Tahdzib: 1/218)
Al-Baihaqi dalam Syu'abul- Iman (IV/384) dari Al Hasan bin Ali ra meriwayatkan dari Nabi :
مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَعَدَ فِي مَجْلِسِهِ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَلْفَحَهُ أَوْ تَطْعَمَهُ
Barangsiapa shalat shubuh lalu duduk di tempat duduknya sambal dzikir kepada Allah hingga terbit matahari, lalu ia berdiri shalat 2 rakat, niscaya Allah haramkan baginya neraka menghanguskannya atau memakannya.
Hadis ini juga tidak terlepas dari kelemahan yang berat, karena Dalam sanadnya ada rawi Bernama Sa'd bin Tharif, dinilai dla'if berat, Imam Al- Bukhari mengatakan "laisa bilqawiyyi 'indahum"(ad-Dlu'afaaus-Shaghiir: 147)
Imam An Nasa'i mengatakan "matrukul -Hadis" (ad-Dlu'afa wal-Matrukiin : 130) bahkan ibnu Hibban Yadla'ul-Hadiits" biasa mengatakan memalsukan hadis. (Tahdzibut-Tahdzib: III/16-17)
Semua riwayat tersebut menurut hemat kami tidak dapat saling menguatkan karena lemahnya parah, semuanya berkaitan dengan adanya kefasikan rawi.
Coba kita bandingkan jika ada banyak orang fasik, pendusta, sesat dan banyak lalai sama-sama mengatakan "Besok Presiden bakal datang ke kampung anda bagi-bagi THR!", apakah banyaknya penyampai berita itu menambah keyakinan benarnya berita itu atau malah muncul dugaan mereka bersekongkol untuk berdusta?
Waktu Shalat Dluha yang terbaik
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Sesungguhnya Zaid bin Arqam pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat dluha, lalu dia berkata: "Tidakkah mereka tahu bahwa shalat di luar waktu ini lebih utama, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda: "Shalat awwabin (orang yang bertaubat) itu, saat anak unta mulai beranjak karena kepanasan."(Hr. Muslim)
Waktu tersebut kata ahli falak sekitar pkl. 09.00 pagi sampai 11.00 siang. Wallahu A'lam. Qumedia
Daftar pustaka
-
Al-Hakim. Al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jilid 4, hlm. 59.
-
At-Thabari. Tafsir At-Thabari (Jami'ul Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an).
-
Ibnu Hibban. Kitab Ad-Du'afa.
-
Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tahdzibut-Tahdzib, berbagai jilid.
-
Al-Bukhari. Ad-Dlu'afaaus-Shaghiir.
-
Muslim. Shahih Muslim.
-
An-Nasa'i. Ad-Dlu'afa wal-Matrukiin.
-
At-Tirmidzi. Sunan At-Tirmidzi dan 'Aridlatul-Ahwadzi, Jilid II, hlm. 69.
-
Al-Baihaqi. Syu'abul-Iman, Jilid IV, hlm. 384.
-
At-Thabarani. Al-Mu'jamul-Kabir dan Al-Mu'jamul-Ausath.
-
Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tahdzibut-Tahdzib dan Taqribut-Tahdzib.
-
Imam Yahya bin Ma'in. Dalam Tahdzibut-Tahdzib.
-
Abu Hatim Ar-Razi. Al-Jarh wat-Ta'dil.
-
Al-Mizanul-I'tidal oleh Adz-Dzahabi.
-
Al-Mughni fii Alfaazhil-Jarh wat-Ta'dil.