Trump dan Palestina, Benarkah Ini Soal Perdamaian?
Kunjungan seorang presiden Amerika Serikat ke Asia beberapa waktu lalu kembali memicu diskusi hangat tentang bagaimana wacana "perdamaian" dibentuk, disebarluaskan, dan diperjualbelikan di panggung politik dunia. Dalam pidatonya, presiden tersebut menyampaikan apresiasi kepada sejumlah negara di Asia dan Timur Tengah atas peran mereka dalam mengupayakan pengakhiran konflik antara kelompok bersenjata dan sebuah negara di Timur Tengah secara permanen. Namun, pertanyaan kritis pun muncul: apakah narasi perdamaian ini benar-benar tulus, ataukah hanyalah kamuflase untuk kepentingan geopolitik yang lebih besar?
Narasi Perdamaian: Antara Diplomasi dan Kepentingan Geopolitik
Perdamaian Sebagai Komoditas Politik
Narasi perdamaian yang digaungkan oleh seorang pemimpin negara adidaya sekilas tampak sederhana: menghentikan pertempuran, membuka jalur diplomasi dan bantuan kemanusiaan, serta merumuskan kesepakatan baru. Namun, realitasnya, pendekatan ini cenderung menempatkan "perdamaian" sebagai komoditas politik yang diperdagangkan di meja perundingan ekonomi dan aliansi militer. Perdamaian tidak lagi dipahami sebagai penghentian kekerasan yang berpihak pada kemanusiaan, melainkan sebagai upaya menciptakan stabilitas geopolitik yang menguntungkan kekuatan-kekuatan besar.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah seberapa serius pemimpin negara adidaya tersebut dalam mengupayakan perdamaian yang berkelanjutan. Apakah upaya tersebut bersifat permanen atau hanya sementara? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada kerangka berpikir yang digunakan. Dalam tradisi politik luar negeri negara tersebut, sejak era Perang Dingin, "perdamaian" seringkali diartikan sebagai keamanan nasional dan kepentingan strategis, bukan keadilan bagi rakyat yang terdampak konflik.
Kepentingan di Timur Tengah
Pola yang kerap terlihat di Timur Tengah adalah dukungan militer yang diikuti dengan pengendalian sumber daya, upaya menciptakan stabilitas politik ala negara adidaya, yang kemudian bermuara pada narasi perdamaian. Narasi ini memposisikan konflik sebagai sesuatu yang harus dikelola, bukan diselesaikan. Korban utamanya adalah kelompok rentan, seperti warga sipil, pengungsi, perempuan, dan anak-anak. Dalam kerangka ini, penderitaan manusia seringkali menjadi "efek samping" dari perebutan kekuasaan.
Untuk memahami lebih jauh, kita perlu meninjau bagaimana seorang pemimpin negara adidaya membangun narasi dan kebijakan terhadap Timur Tengah. Dalam masa pemerintahannya (2017-2021), terdapat sejumlah kepentingan utama. Pertama, mendorong Abraham Accords melalui kesepakatan untuk normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Kedua, mengurangi bantuan ke Palestina dan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ketiga, mendefinisikan Iran sebagai ancaman utama di kawasan.
Perdamaian atau Koalisi Strategis?
Kesepakatan normalisasi hubungan (Abraham Accords) sering dipuji sebagai pencapaian diplomatik besar karena berhasil menurunkan tensi antar negara. Namun, sejumlah analis berpendapat bahwa normalisasi tersebut tidak menyelesaikan akar masalah di kawasan, yaitu pendudukan wilayah, status Yerusalem, dan hak kembali pengungsi. Sejarawan Timur Tengah, Rashid Khalidi, dalam bukunya "The Hundred Years' War on Palestine" (2020), menegaskan bahwa "Ini bukanlah soal perdamaian, melainkan menyatukan koalisi strategis untuk melawan Iran dan mengamankan kepentingan ekonomi." Dengan kata lain, narasi "perdamaian" digunakan sebagai bungkus diplomasi dan geopolitik.
Peran Opini Publik dan Media Sosial
"Peace Through Strength": Retorika Kekuatan Militer
Situasi menjadi semakin kompleks ketika narasi bersinggungan dengan opini publik global. Di era media sosial, persepsi tentang konflik bergerak sangat cepat. Informasi yang paling emosional dan sering diulang cenderung lebih mudah tertanam dalam kesadaran publik. Seorang pemimpin negara adidaya memahami hal ini dengan baik. Selain piawai sebagai politisi, ia juga seorang komunikator yang lincah memainkan emosi publik, simpati, nostalgia, dan antagonisme melalui bahasa yang sederhana dan langsung.
Retorika "perdamaian melalui kekuatan" (Peace Through Strength) sering digunakan, berangkat dari filosofi klasik tentang mencapai perdamaian dan keamanan melalui kekuatan militer yang unggul, seperti yang digunakan oleh tokoh sejarah seperti Alexander Agung. Namun, pendekatan ini seringkali membenarkan penggunaan kekuatan militer untuk mengakhiri konflik. Dalam konflik di Timur Tengah, narasi ini dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk membenarkan tindakan mereka, baik sebagai bentuk perlawanan maupun sebagai upaya mempertahankan diri.
Framing dalam Konflik di Timur Tengah
Seorang pemimpin negara adidaya seringkali mencitrakan "perdamaian" dengan pendekatan pragmatis dan transaksional, melalui retorika yang berfokus pada kepentingan nasional (America First) dan kesepakatan bilateral, berbeda dengan multilateralisme dan tata kelola global. Framing yang dilakukan sangat berperan dalam membangun wacana global.
Misalnya, Israel digambarkan sebagai "demokrasi yang harus membela diri," Palestina digambarkan sebagai "masalah keamanan," dan AS digambarkan sebagai "penengah yang rasional." Meskipun realitasnya jauh lebih kompleks dan tidak simetris dari itu.
Solidaritas terhadap Korban Konflik di Indonesia
Narasi ini beresonansi berbeda dalam konteks publik Indonesia, yang melihat penderitaan korban konflik di Timur Tengah sebagai persoalan kemanusiaan dan kolonialisme, bukan konflik agama. Solidaritas terhadap korban konflik di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berhubungan dengan gagasan anti-imperialisme dan warisan diplomasi dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Ranah digital memberikan ruang bagi solidaritas melalui kampanye publik, penggalangan dana, dan advokasi internasional.
Namun, wacana publik rentan terjebak dalam narasi yang menyederhanakan masalah menjadi soal identitas agama. Cara paling tepat untuk memahami persoalan ini adalah melalui perspektif hak asasi manusia, sejarah pendudukan, dan keadilan geopolitik.
Membangun Narasi Perdamaian yang Berpihak pada Kemanusiaan
Pengakuan Penderitaan Korban
Jika kita ingin membangun narasi perdamaian yang berpihak pada kemanusiaan, maka beberapa hal penting yang dapat dilakukan. Pertama, narasi perdamaian harus dimulai dari pengakuan penderitaan korban. Tidak ada perdamaian tanpa penghentian kekerasan terhadap warga sipil dan pengakuan hak-hak mereka.
Menghormati Keadilan Sejarah
Kedua, perdamaian harus menghormati keadilan sejarah. Kasus Palestina menjadi pembahasan serius soal pendudukan, pemblokiran ekonomi, dan status pengungsi.
Diplomasi Berdasarkan Kesetaraan
Ketiga, diplomasi harus mengedepankan prinsip kesetaraan, bukan penyerahan sepihak dalam konteks kesepakatan yang hanya menguntungkan blok kekuasaan tertentu.
Kesimpulan: Perdamaian Sejati dan Keadilan
Perdamaian bukan hanya menyoal "stabilitas politik" yang menguntungkan negara kuat, melainkan kondisi sosial di mana rakyat bisa hidup aman dan bermartabat. Narasi perdamaian memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa siapa yang mengendalikan narasi, dialah yang mengendalikan makna sebuah konflik.
Oleh karena itu, kita tidak boleh menerima istilah "perdamaian" begitu saja tanpa menelaah secara kritis apa yang dikorbankan untuk mencapainya, siapa yang memetik keuntungan, dan siapa yang harus membayar harga penderitaan. Pada akhirnya, perdamaian sejati tidak bisa dibangun dengan tekanan, normalisasi yang timpang, atau diplomasi yang mengabaikan penderitaan rakyat. Perdamaian hanya mungkin lahir jika keadilan ditegakkan terlebih dahulu. Keadilan tidak pernah lahir dari kekuasaan yang ingin mengatur dunia hanya melalui sudut pandangnya sendiri.