Gus Yahya Minta Maaf Soal Pembicara Kontroversial di UI, Ada Apa?

Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI), Yahya Cholil Staquf, menyampaikan permohonan maaf terbuka. Hal ini terkait usulannya untuk menghadirkan Peter Berkowitz, seorang ilmuwan politik yang dikenal memiliki pandangan pro-Zionis, sebagai narasumber dalam acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Program Pascasarjana UI pada 23 Agustus 2025. Usulan ini menuai kritik keras karena dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh UI.
Permohonan Maaf Gus Yahya
Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Staquf, menyampaikan permohonan maafnya melalui surat terbuka yang dipublikasikan pada Kamis, 18 September 2025. Dalam suratnya, ia mengakui adanya kelalaian dalam meneliti rekam jejak Berkowitz sebelum mengusulkannya. "Saya menyesal atas kelalaian ini. Dengan penuh kerendahan hati, saya memohon maaf kepada pimpinan UI, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan alumni," tulis Gus Yahya. Permohonan maaf ini diharapkan dapat meredakan polemik yang berkembang di kalangan civitas akademika UI dan masyarakat luas.
Alasan di Balik Permohonan Maaf
Menurut Gus Yahya, kelalaian dalam menyeleksi narasumber telah menimbulkan keresahan dan mencoreng nama baik UI sebagai kampus perjuangan yang selama ini dikenal konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. "Hal ini menimbulkan keresahan dan memengaruhi marwah Universitas Indonesia sebagai kampus perjuangan yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina," jelasnya. Ia juga menyadari bahwa kehadiran narasumber dengan pandangan pro-Zionis berpotensi mencederai nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh UI, termasuk keadilan dan kemanusiaan.
Komitmen Gus Yahya untuk UI
Sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen untuk perbaikan, Gus Yahya berjanji akan memperketat mekanisme pemilihan narasumber di masa mendatang. Proses verifikasi akan dilakukan secara lebih cermat dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan keselarasan dengan nilai-nilai UI. "Saya berkomitmen untuk menerapkan mekanisme pengecekan yang lebih ketat dan melibatkan berbagai pihak agar setiap langkah sejalan dengan nilai luhur dan reputasi Universitas Indonesia," tegasnya. Ia juga menegaskan kembali bahwa UI, dan dirinya secara pribadi, tetap teguh mendukung perjuangan rakyat Palestina sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip kemanusiaan. Bentuk dukungan nyata diwujudkan dengan mendukung keberadaan UI-Palestine Center dan siap berkontribusi untuk pengembangan dan kemajuannya. "Saya sangat mendukung keberadaan UI-Palestine Center di Universitas Indonesia dan siap berkontribusi untuk pengembangan dan kemajuannya," imbuhnya.
Petisi Pencopotan Gus Yahya Mengemuka
Meski permohonan maaf telah disampaikan, kontroversi terkait usulan menghadirkan Peter Berkowitz tampaknya belum sepenuhnya usai. Universitas Indonesia Student for Justice in Palestine (UI SJP), sebuah komunitas mahasiswa yang peduli terhadap isu Palestina, meluncurkan petisi online yang menuntut pencopotan Yahya Cholil Staquf dari jabatannya sebagai Ketua MWA UI.
Tuntutan dalam Petisi
Petisi berjudul "Dukung Pencopotan Yahya Cholil Staquf dari Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia" telah mengumpulkan ribuan tanda tangan sejak diluncurkan pada 12 September 2025. Petisi ini bertujuan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan dan membersihkan nama baik UI dari segala bentuk afiliasi dengan Zionisme. UI SJP menyoroti rekam jejak Gus Yahya yang dinilai memiliki banyak keterkaitan dengan tokoh dan agenda Zionisme. Beberapa contoh yang disebutkan dalam petisi tersebut antara lain undangan kepada Berkowitz untuk menjadi pembicara pada akademi kepemimpinan nasional NU 2025, undangan kepada Berkowitz untuk hadir di forum agama G20 tahun 2022, serta kunjungan PBNU ke Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada tahun 2018. "Tindakan dan rekam jejak tersebut telah mencoreng sembilan nilai luhur UI, khususnya nilai keadilan dan kemartabatan," tulis UI SJP dalam petisinya.
Mengenal Peter Berkowitz
Peter Berkowitz adalah seorang ilmuwan politik dengan reputasi internasional. Saat ini, ia menjabat sebagai Tad and Dianne Taube Senior Fellow di Hoover Institution, Stanford University, sebuah lembaga think tank terkemuka di Amerika Serikat.
Latar Belakang Pendidikan Peter Berkowitz
Berkowitz memiliki latar belakang pendidikan yang kuat di bidang humaniora dan ilmu politik. Ia meraih gelar BA di bidang English Literature dari Swarthmore College, kemudian melanjutkan studinya di Hebrew University of Jerusalem, Israel, dan meraih gelar MA di bidang filsafat. Selanjutnya, ia memperoleh gelar Juris Doctor (JD) dan PhD di bidang ilmu politik dari Yale University.
Keahlian dan Minat Peter Berkowitz
Keahlian Berkowitz meliputi berbagai bidang, termasuk pemerintahan konstitusional, konservatisme dan progresivisme, pendidikan liberal, keamanan dan hukum nasional, serta politik Timur Tengah. Ia juga memiliki minat yang mendalam dalam isu-isu terkait keamanan dan pertahanan, hubungan internasional, kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terorisme, sejarah, hukum dan kebijakan, hak sipil dan ras, politik institusi, dan opini publik.
Peran Peter Berkowitz di Pemerintahan AS
Selain berkarier di dunia akademis, Berkowitz juga memiliki pengalaman di pemerintahan. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Staf Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS, Sekretaris Eksekutif Komisi Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut Departemen Luar Negeri AS, dan penasihat senior untuk Menteri Luar Negeri AS pada periode 2019-2021, di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Pengalaman ini memberikan Berkowitz perspektif yang unik dalam menganalisis isu-isu politik dan kebijakan luar negeri.
Polemik terkait kehadiran Peter Berkowitz di UI dan petisi pencopotan Gus Yahya menunjukkan kompleksitas isu-isu terkait kebebasan akademik, nilai-nilai universitas, dan pandangan politik. Perdebatan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk refleksi dan dialog konstruktif di kalangan civitas akademika UI dan masyarakat luas. Pihak UI sendiri diharapkan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meredakan ketegangan dan memastikan suasana akademik yang kondusif bagi seluruh mahasiswa dan staf. Ke depan, proses pemilihan narasumber untuk kegiatan-kegiatan universitas perlu dilakukan dengan lebih hati-hati dan transparan, melibatkan berbagai pihak untuk menghindari kontroversi serupa di masa mendatang.