Bagaimana Warga Gaza Menanggapi Rencana Trump untuk Akhiri Konflik?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan sebuah inisiatif berisi 20 poin yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza. Rencana ini, diklaim sebagai upaya mencapai perdamaian abadi, menuai beragam reaksi. Mulai dari skeptisisme warga Gaza hingga dukungan terbatas dari Otoritas Palestina dan sejumlah negara Arab, bagaimana tanggapan dunia terhadap solusi yang digadang-gadang Trump ini?
Reaksi Awal Hamas: Tunggu Salinan Lengkap
Hamas menunjukkan sikap hati-hati dalam menanggapi proposal Trump. Seorang pejabat senior Hamas menyatakan, respons resmi baru akan diberikan setelah menerima salinan lengkap rencana tersebut. "Kami akan merespons setelah kami menerimanya," ujarnya, seperti dilansir berbagai sumber berita internasional. Sikap ini mencerminkan kehati-hatian dalam menanggapi proposal penting bagi masa depan Gaza.
Qatar dan Mesir, yang selama ini menjadi mediator aktif, segera menyampaikan proposal Trump kepada Hamas. Namun, isi proposal itu tampaknya menimbulkan kekhawatiran. Rencana Trump dilaporkan menuntut agar militan Hamas melucuti senjata secara total dan mengakhiri peran mereka dalam pemerintahan di masa depan. Sebagai imbalan, amnesti dijanjikan bagi mereka yang bersedia "hidup berdampingan secara damai". Persyaratan ini menjadi poin krusial yang akan memengaruhi keputusan akhir Hamas. "Inti masalahnya adalah bagaimana masa depan Gaza akan diatur, dan peran apa yang akan kami mainkan," ungkap sumber internal Hamas yang enggan disebutkan namanya.
Skeptisisme Mendalam Warga Gaza
Di tengah reruntuhan dan kehidupan yang hancur akibat konflik, warga Gaza menyambut rencana Trump dengan skeptisisme mendalam. Abu Mazen Nassa, warga Gaza berusia 52 tahun yang menjadi salah satu dari 1,9 juta pengungsi akibat perang, dengan tegas menolak rencana tersebut. "Kami sebagai rakyat tidak akan menerima lelucon ini," ujarnya getir. Pernyataan ini mencerminkan rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap janji-janji perdamaian dari luar.
Skeptisisme warga Gaza berakar pada pengalaman pahit bertahun-tahun. Gencatan senjata kerap dilanggar, perjanjian damai gagal terwujud, dan blokade terus melumpuhkan. "Kami sudah sering mendengar janji seperti ini. Yang kami butuhkan adalah tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata di atas kertas," kata Fatima, seorang ibu rumah tangga dari kamp pengungsi Jabalia. Warga Gaza merasa rencana Trump tidak sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi mereka. "Kami ingin memiliki suara dalam menentukan masa depan kami sendiri," tegas Fatima.
Dukungan Terbatas Otoritas Palestina dan Sejumlah Negara Arab
Berbeda dengan skeptisisme warga Gaza, Otoritas Palestina di Tepi Barat menyambut baik upaya Trump. Mereka menyebutnya sebagai "upaya tulus dan penuh tekad" untuk mengakhiri konflik. Dukungan ini menunjukkan harapan bahwa rencana Trump dapat menjadi titik awal proses perdamaian yang lebih komprehensif. Namun, Otoritas Palestina menekankan pentingnya melindungi hak-hak rakyat Palestina dan mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.
Delapan negara Arab dan Muslim, termasuk Mesir, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Turki, Indonesia, dan Pakistan, juga memberikan tanggapan positif terhadap inisiatif Trump. Negara-negara yang terlibat dalam mediasi konflik Israel-Palestina ini mengadakan pembicaraan dengan Trump pada pekan lalu. Mereka memuji "upaya tulus" Trump untuk mencapai perdamaian dan menyatakan kesediaan untuk bekerja sama. Meski demikian, beberapa negara menekankan pentingnya keselarasan rencana Trump dengan resolusi PBB dan inisiatif perdamaian sebelumnya.
Ancaman Keras Netanyahu Jika Hamas Menolak
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka mendukung rencana 20 poin yang diajukan Trump. Dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih, Netanyahu menyatakan rencana tersebut "mencapai tujuan perang kami" dan berjanji akan bekerja sama dengan Trump. Namun, Netanyahu juga menyampaikan peringatan keras kepada Hamas. Ia mengancam akan "menyelesaikan tugasnya sendiri" jika Hamas menolak atau melawan rencana Trump.
"Jika Hamas menolak rencana Anda, Tuan Presiden, atau jika mereka konon menerimanya dan kemudian melakukan segalanya untuk melawannya, maka Israel akan menyelesaikan tugasnya sendiri," ucap Netanyahu dengan nada tegas. Ancaman ini menunjukkan tekad Israel untuk melanjutkan operasi militer di Gaza jika Hamas tidak bersedia bekerja sama dalam proses perdamaian. Namun, ancaman ini juga berpotensi merusak upaya perundingan dan memperdalam ketidakpercayaan.
Rencana Trump untuk mengakhiri konflik di Gaza menghadirkan tantangan dan peluang yang kompleks. Dukungan terbatas dari Otoritas Palestina dan beberapa negara Arab memberikan sedikit harapan. Namun, skeptisisme mendalam dari warga Gaza dan ancaman dari Netanyahu menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian masih panjang dan berliku. Masa depan Gaza kini bergantung pada respons Hamas terhadap proposal Trump dan kesediaan semua pihak untuk berkompromi demi mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Informasi lebih lanjut mengenai perkembangan situasi ini akan terus diperbarui.