TERBARU

Aku Tidak Butuh!

 Aku Tidak Butuh!

Oleh: Al-Ustadz H.E. Abdurrahman قَالَ بَكْ حَاجَةُ؟

Qumedia - Demikian kata-kata yang keluar dari mulut Thawus bin Kaisan ketika utusan itu mempersembahkan sebuah bingkisan hadiah dari sang penguasa yang memerintah negeri pada masa itu. Thawus menyuruh utusan itu untuk membawa kembali bingkisan yang dibawanya karena ia tidak mau menerimanya!

Thawus bin Kaisan adalah seorang ulama tabi’in dan pernah bertemu dan belajar kepada lima puluh orang sahabat. Ia adalah seorang ulama yang teguh pendiriannya dan kuat imannya.

Bingkisan yang dibawa oleh utusan penguasa itu berupa 700 dinar uang emas, tidak kurang dari setengah kilogram beratnya.

Mengapa Thawus menolak kebaikan orang kepadanya? Apakah Thawus tidak membutuhkan uang? Apakah ia telah membenci dunia?

Tidak, Islam tidak mengajarkan ajaran seperti itu. Islam mengajarkan bahwa harta itu ialah prasarana utama bagi kesempatan beragama, sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw.:

يَعْمَلْ ٱلصَّالِحُ ٱلْأَمَالِ لِلرَّجُلِ ٱلْغَنَيِ ٱلْتَقَيِ فِي أَدَبِ ٱلْمُفْرَدِ

"Sebaik-baik harta yang halal, berada pada tangan seorang saleh."
(Riwayat Bukhari – Al-Adabul Mufrad)

Jika demikian, mengapa hadiah itu ditolaknya? Apakah Islam mengajarkan untuk menolak kebaikan seseorang?

Tidak, Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, Islam mengajarkan agar pemberian dan kebaikan orang itu jangan ditolak, sekalipun kita tidak membutuhkannya; terimalah dan milikilah, jika kita tidak membutuhkannya sedekahkan pada orang lain!

Rasulullah memberi nasihat kepada Umar Ibnu Khattab r.a. tatkala ia menolak hadiah yang diberikan orang kepadanya, beliau bersabda:

خُذْ فَتَمَوَّلْهُ أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ! (رواه مسلم)

"Terimalah itu! Simpanlah untukmu atau kau sedekahkan kepada orang lain!"
(Riwayat Muslim)

Akan tetapi tidak semua pemberian orang mesti diterima, sekalipun berupa zakat. Rasulullah pernah menolak hal serupa, sebab ternyata barangnya tidak halal. Barang itu diperoleh dari hasil ghasab. Beliau melarang pula para sahabatnya untuk makan daging yang dihidangkan oleh perempuan tersebut.

Rasulullah pernah menolak zakat yang disampaikan oleh Tsabitah setelah Rasulullah mengetahui bahwa zakat yang Tsabitah itu adalah seorang munafik; ia bukan hendak bersedekah karena ridha, namun ingin orang itu membayangi dirinya, tetapi karena keikhlasan saja, untuk menyembunyikan kekufurannya. Sebagaimana dengan itu, dalam satu hadisnya beliau berdoa:

اللّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ لِفَاجِرٍ عِنْدِي يَدًا فَيُحِبُّهُ قَلْبِي!

"Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan orang zalim menghutangkan budi atasku, sehingga aku mencintainya."
(Riwayat ad-Dailami dari Mu’adz dan Abu Musa)

Inilah alasan Thawus hingga menolak hadiah dari penguasa itu; ia tidak suka berhutang budi kepada orang zalim, sebab kebaikan yang diberikannya itu akan menjadi alat untuk membungkam mulutnya, menyulitkan perilakunya, dan melemahkan pendiriannya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh penguasa tersebut, bersaksi serta beramar ma’ruf nahi mungkar!

Rasulullah pun telah menolak tawaran yang hendak diberikan oleh Al-Walid, ketika Al-Walid meminta beliau memilih harta, wanita atau tahta dengan maksud agar beliau berhenti dari kegiatan menablighkan risalah Allah.

Thawus menyadari semua itu, maka ia pun arif terhadap apa yang dihadapinya. Itulah sebabnya ia berkebaratan untuk menerima hadiah tersebut. Ia tahu bahwa uang itu berasal dari sumber yang tidak halal atau syubhat. Pemberian penguasa tentu saja ada di balik bait itu, agar lidah Thawus menjadi tumpul mendiamkan segala kezaliman yang dilakukan oleh penguasa tersebut. Atas dasar itulah Thawus menyatakan kepada utusan itu, “Maa lii biha min haajatin...” bukan ia tidak butuh uang, bukan pula memusuhi dunia atau harta kekayaan, tetapi ia menghindarkan diri dari akibat buruk yang mungkin dihadapi dan dideritanya!

Sekalipun sudah jelas-jelas Thawus menolak, tetapi utusan itu masih terus mencoba memaksanya agar mau menerima hadiah itu. Thawus tetap berkeras hati, tidak mau menerimanya. Akhirnya bingkisan itu dilemparkan oleh utusan tersebut ke suatu lubang yang terdapat di dalam rumah Thawus, kemudian barulah utusan itu pulang.

Thawus tidak mengambilnya, melainkan dibiarkan begitu saja. Dan ia tetap tajam lidah, bebas, tidak terikat; yang hak tetap dikatakannya hak; dan yang batil tetap dikatakan batil tidak pernah berubah. Ia berjuang sebagai social-control dan moral-force. Ia tidak membiarkan kezaliman berlangsung tanpa hambatan dan rintangan. Ia tidak dipengaruhi orang atau terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Ia tetap teguh, tegar, dan siap memandang ke depan dengan tabah. Tidak ada yang ditakutkannya sedikitpun, ia berani karena benar.

Sang penguasa mendengar serta melihat Thawus tetap berdiri kokoh sebagaimana amar ma’ruf nahi munkar tetap dijalankannya dengan penuh keberanian. Sang penguasa merasa heran, ia bertanya-tanya apakah gerangan sebabnya, tidakkah hadiah yang dikirimnya akan meringankan atau kurang keras tekanan dan ancaman yang dijatuhkan padanya?

Oleh karena itu sang penguasa mengirim lagi seorang utusan. Utusan itu ditugaskan agar meminta Thawus untuk mengembalikan uang yang pernah dihadiahkan kepadanya.

Tetapi alangkah terkejutnya utusan itu, sebab ketika diminta Thawus menjawab bahwa ia belum pernah menerimanya, apalagi mejamah dan membelanjakannya!

Utusan itu merasa tidak yakin, sebab utusan yang bertugas untuk menyampaikannya dulu itu melaporkan bahwa bingkisan uang itu telah disampaikan dengan baik. Tetapi Thawus tetap membantah alasan itu.

Utusan itu kembali pulang dan melaporkan hasilnya. Mendengar laporan itu sang penguasa memanggil utusan terdahulu untuk menghadap kepadanya, kemudian memerintahkannya untuk mengambil sendiri uang tersebut.

Maka utusan itu datang menghadap Thawus. Ia bertanya, “Di manakah tuan simpan bingkisan yang dahulu saya berikan?” Thawus menjawab, “Apakah kamu melihat aku menerimanya atau menjamahnya?” “Tidak,” jawab utusan itu, “tidak saya lihat tuan memegangnya.” “Jika demikian jawabmu, di mana kau simpan?” Thawus balik bertanya. “Saya lemparkan ke dalam lubang itu!” jawab utusan. “Ambillah olehmu di situ!” perintah Thawus. Maka utusan itu pergi menuju lubang tersebut, lubang itu ternyata sudah penuh dengan sarang laba-laba karena sudah lama tidak tersentuh tangan manusia menjamah lubang itu. Ternyata setelah utusan itu masuk ke dalam lubang tersebut, bingkisan uang itu masih utuh dan lengkap, tidak sedikit pun rusak atau hilang, tidak sedikit pun segumpal uang hilang...!

Demikianlah sekelumit kisah Thawus bin Kaisan seorang ulama yang berjihad di negeri Yaman. Ia juga tinggal cukup lama di Dzul, negeri Yaman, dan orang-orang tidak luput hatinya karena kemuliaan emas dan perak. Ia tidak akan menerimanya kecuali hanya barang yang halal. Teguh dan tabah jiwanya dalam menghadapi setiap godaan dan ancaman. Ucapannya yang sangat peneduh dengan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a yang berkata pada uang yang menggodanya:

عَزِي يَا حُبِيبًا مَا لِي بِكَ حَاجَةٌ

"Wahai harta haram, godalah yang lain, Aku tidak membutuhkannya!"

[dikutip dari buku: Renungan Tarikh KHE. Abdurrahman, Algesindo th. 2015, hlm. 117–120] Qumedia

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment