Ada Apa dengan Eropa dan Palestina? Mengapa Sikap Mereka Berubah?

Eropa dan Palestina: Mengapa Angin Perubahan Bertiup?
Dulu terkesan abai, kini negara-negara Eropa menunjukkan perubahan sikap yang mencolok terkait konflik Palestina-Israel. Bahkan, beberapa di antaranya tak ragu mengkritik Israel secara terbuka dan mengakui negara Palestina. Apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan Palestina?
Sejarah Panjang Dukungan Eropa untuk Israel
Sejarah mencatat, pasca Perang Dunia I, negara-negara besar Eropa punya andil besar dalam membentuk wajah Timur Tengah modern. Runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada akhirnya membuka jalan bagi berdirinya Israel pada tahun 1948. Sejak saat itu, stabilitas dan keamanan Israel menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri Eropa di Timur Tengah.
Selama puluhan tahun, dukungan Eropa terhadap Israel terbilang komprehensif. Bantuan politik, diplomatik, ekonomi, hingga militer mengalir tanpa henti. Bahkan ketika Israel dinilai melanggar hukum internasional, Eropa cenderung mempertahankan kebijakan pro-Israel mereka. Meski kadang ada perbedaan pendapat dengan Amerika Serikat soal konflik Palestina, tindakan nyata terhadap Israel relatif jarang terjadi.
Ironisnya, hingga awal 2025, sebagian besar negara Eropa masih bergeming. Kekejaman dan eskalasi konflik di Jalur Gaza tak serta merta mengubah peta dukungan politik di Benua Biru. Malah, sejumlah negara dilaporkan terus memasok amunisi dan persenjataan ke Israel, yang kemudian digunakan dalam konflik dengan warga sipil Palestina.
2025: Titik Balik Kebijakan Eropa
Namun, memasuki pertengahan tahun 2025, angin perubahan mulai berhembus. Negara-negara Eropa mulai menunjukkan perubahan arah yang signifikan. Kritik terhadap tindakan Israel semakin terbuka dan keras. Puncaknya, beberapa negara secara resmi mengakui negara Palestina, menandai babak baru dalam hubungan Eropa dan Palestina.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Lantas, apa yang memicu perubahan kebijakan drastis ini? Analis politik menyoroti beberapa faktor kunci:
Tekanan Politik Domestik
Salah satu faktor utama adalah meningkatnya tekanan politik dari dalam negeri. Gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai negara Eropa menyuarakan penolakan terhadap kekerasan di Gaza. Aksi unjuk rasa ini mengecam dukungan pemerintah terhadap tindakan Israel. Gerakan ini kemudian merambah ke kalangan elit politik, dengan banyak politisi mengangkat isu tersebut di parlemen dan platform politik lainnya.
"Kami mendengar suara rakyat yang menuntut keadilan," tegas Anna Schmidt, anggota parlemen Jerman dari Partai Hijau, dalam sebuah konferensi pers. "Pemerintah harus mendengarkan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan."
Meningkatnya Sentimen Anti-Israel di Eropa
Faktor kedua adalah meningkatnya sentimen anti-Israel di kalangan masyarakat Eropa. Hal ini tercermin dalam berbagai survei dan jajak pendapat. Sentimen ini juga sejalan dengan sikap global yang semakin kritis terhadap kebijakan Israel, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB.
Data Eurobarometer terbaru menunjukkan, dukungan publik terhadap Palestina di Uni Eropa melonjak 15% dalam setahun terakhir. Mayoritas warga Eropa kini berpendapat bahwa pemerintah mereka harus lebih vokal dalam mengkritik tindakan Israel.
Agresi Israel di Timur Tengah
Faktor ketiga adalah agresi Israel yang meluas ke negara-negara lain di Timur Tengah, seperti Yaman, Lebanon, Suriah, dan Iran. Serangan Israel terhadap Doha, Qatar, khususnya, memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Serangan tersebut dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan dan berpotensi mengganggu stabilitas regional.
"Serangan terhadap Doha merupakan garis merah yang tidak boleh dilanggar," tegas Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Pierre Dubois, dalam pernyataan resmi. "Tindakan ini mengancam perdamaian dan keamanan di kawasan."
Serangan ini memaksa negara-negara Eropa untuk mengevaluasi kembali kebijakan mereka terhadap Israel. Mereka menyadari bahwa masalahnya bukan hanya konflik dengan Hamas, tetapi juga kebijakan agresif dan ekspansionis Israel di kawasan tersebut.
Pengakuan Saja Belum Cukup
Meski pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Eropa merupakan langkah maju, banyak yang menilai hal itu saja tidak cukup. Beberapa kritikus berpendapat bahwa pengakuan tersebut terlambat, dilakukan setelah kehancuran besar-besaran di Jalur Gaza. Ada kekhawatiran bahwa pengakuan ini tidak akan berdampak signifikan di lapangan.
"Pengakuan setelah kehancuran tidak berarti banyak," kata Omar Khalil, seorang analis politik Timur Tengah. "Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata untuk menghentikan kekerasan dan memastikan hak-hak rakyat Palestina terpenuhi."
Tantangan lainnya adalah adanya persyaratan tertentu yang diajukan oleh beberapa negara Eropa terkait pengakuan mereka terhadap negara Palestina. Selain itu, tidak semua negara Eropa secara tegas mengakui negara Palestina dalam batas-batas tahun 1967. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengakuan tersebut mungkin bersifat artifisial dan tidak akan menyelesaikan penderitaan rakyat Palestina.
Kesimpulan: Langkah Awal atau Akhir Perjalanan?
Perubahan kebijakan negara-negara Eropa terhadap konflik Palestina-Israel dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Tekanan politik domestik, meningkatnya sentimen anti-Israel, dan agresi Israel yang meluas di kawasan Timur Tengah memainkan peran penting dalam mendorong perubahan tersebut.
Namun, pengakuan negara Palestina hanyalah langkah awal. Jika Eropa sungguh-sungguh ingin mengubah situasi di lapangan, mereka perlu mengambil tindakan yang lebih konkret dan efektif untuk menghentikan kekerasan dan memastikan hak-hak rakyat Palestina terpenuhi. Jika tidak, persatuan dan kredibilitas Eropa sebagai kekuatan global akan dipertaruhkan.