Kisah Haru di Balik Dukungan Indonesia untuk Palestina

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah mengukir sejarah panjang dalam mendukung perjuangan Palestina. Lebih dari sekadar pernyataan politis, dukungan ini berakar kuat pada prinsip moral yang dipegang teguh oleh setiap pemimpin bangsa, sebuah konsistensi yang menjadikan Indonesia sebagai pembela isu kemanusiaan internasional selama lebih dari tujuh dekade.
Era Sukarno: Landasan Solidaritas dan Penolakan Kolonialisme
Pada tahun 1947, Indonesia menjadi salah satu negara pertama di Asia yang lantang menolak Rencana Pembagian Palestina oleh PBB melalui Resolusi 181. Presiden Soekarno melihat rencana tersebut sebagai manifestasi kolonialisme baru di tanah Arab. Bagi Bung Karno, kemerdekaan Indonesia terasa belum paripurna selama bangsa Palestina masih berjuang melawan penjajahan.
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan dunia," demikian pernyataan tegas Soekarno, yang tercatat dalam arsip sejarah.
Semangat ini kembali digaungkan dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Soekarno menegaskan bahwa isu Palestina adalah bagian integral dari perjuangan dekolonisasi global. Dukungan moral dan diplomatik Indonesia pada masa itu diakui oleh delegasi Mesir dan Yordania sebagai "api semangat bagi bangsa-bangsa tertindas".
Sebagai wujud nyata dukungan, pemerintahan Indonesia di era 1950-an tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Partisipasi Israel dalam berbagai forum internasional yang dihadiri Indonesia, termasuk GANEFO (Games of the New Emerging Forces), pun ditolak. Prinsip "tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka" menjadi komitmen yang tak tergoyahkan.
Era Soeharto: Diplomasi Aktif dan Konsolidasi Kekuatan Islam
Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia semakin aktif dalam memperkuat persatuan dunia Islam. Pada tahun 1969, Indonesia menjadi anggota pendiri Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang kini dikenal sebagai Organisasi Kerja Sama Islam. Indonesia secara konsisten mendorong pengakuan internasional terhadap Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan sah rakyat Palestina.
Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Mochtar Kusumaatmadja memainkan peran kunci dalam diplomasi Indonesia. Mereka secara konsisten mendukung resolusi PBB tentang hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina, menolak normalisasi hubungan dengan Israel, serta mengirimkan bantuan kemanusiaan dan beasiswa bagi pelajar Palestina.
Puncak diplomasi di era ini adalah instruksi Soeharto untuk membuka kedutaan PLO di Jakarta pada tahun 1989. Langkah ini menjadikan Indonesia negara Asia Tenggara pertama yang memberikan status diplomatik resmi kepada Palestina, menandai komitmen nyata Indonesia dalam mendukung perjuangan Palestina.
Era Reformasi: Mempererat Hubungan dan Mengalirkan Bantuan
Pasca-reformasi, hubungan bilateral antara Indonesia dan Palestina semakin erat. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Joint Communiqué dengan Presiden Palestina Yasser Arafat, menegaskan dukungan Indonesia terhadap pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2006-2010 menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Luar Negeri. SBY juga menyelenggarakan Asia-Pacific Conference on Palestinian Development, menunjukkan komitmen Indonesia dalam membantu pembangunan Palestina.
Pada tahun 2012, Indonesia menjadi salah satu sponsor resolusi PBB yang menaikkan status Palestina menjadi non-member observer state. Bantuan medis, beasiswa, dan dukungan politik terus mengalir dari Jakarta ke Ramallah dan Gaza.
Era Jokowi-Prabowo: Solidaritas Berubah Aksi Nyata
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan (kini Presiden) Prabowo Subianto, dukungan Indonesia terhadap Palestina semakin konkret. Solidaritas diwujudkan tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui inisiatif diplomasi strategis.
Forum Internasional dan Suara Lantang di PBB
Pada tahun 2016, Indonesia menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, yang menghasilkan "Deklarasi Jakarta" untuk Palestina. Deklarasi ini menegaskan komitmen negara-negara OKI untuk mendukung kemerdekaan Palestina dan mendorong penyelesaian konflik secara damai.
Diplomasi Humaniter di Gaza
Sejak tahun 2023, di tengah konflik di Gaza, Indonesia mengirimkan bantuan medis dan logistik, termasuk pembangunan Indonesian Hospital di Beit Lahia, Gaza Utara. Rumah sakit ini menjadi simbol solidaritas Indonesia terhadap rakyat Palestina yang membutuhkan pertolongan.
Peran Prabowo Subianto dalam Mencari Perdamaian (2024-2025)
Sebagai Menteri Pertahanan dan kini sebagai Presiden, Prabowo Subianto telah mengambil langkah-langkah konkret yang belum pernah dilakukan oleh negara Islam maupun Arab dalam konflik Gaza.
Prabowo menghadiri Konferensi Perdamaian di Kairo, Mesir, dan menyampaikan komitmen Indonesia untuk memediasi dan menstabilkan Gaza. Dia juga menawarkan pengiriman 20.000 pasukan perdamaian Indonesia di bawah mandat PBB, sebuah langkah berani yang belum pernah ditawarkan oleh negara Arab manapun.
"Indonesia siap berkontribusi secara aktif dalam upaya perdamaian di Gaza. Kami menawarkan pasukan perdamaian dan siap menampung anak-anak yatim Palestina serta korban luka untuk dirawat di Indonesia," ujar Prabowo dalam konferensi pers di Kairo, yang dikutip dari keterangan resmi Kementerian Pertahanan.
Prabowo juga menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum Palestina merdeka, tetapi akan tetap terbuka untuk diplomasi kemanusiaan yang konstruktif.
Era Prabowo: Strategi dan Geopolitik yang Bermakna
Langkah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki arti strategis dan geopolitik yang penting. Pertama, menunjukkan bahwa negara Muslim non-Arab dapat memainkan peran besar dalam stabilitas Timur Tengah. Kedua, memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dunia Islam yang independen, tidak tunduk pada blok manapun. Ketiga, menegaskan watak politik luar negeri bebas aktif dalam wujud paling aktual: bebas dari tekanan ideologis, aktif dalam perdamaian dunia.
Belum pernah ada negara Islam atau Arab yang berhasil menempatkan diri sebagai penengah di Gaza dengan kapasitas militer, kemanusiaan, dan moral sekaligus seperti yang kini dilakukan Indonesia.
Warisan Diplomasi Kemanusiaan
Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang memberi dampak adalah bangsa yang berani melampaui retorika. Dari Sukarno yang menyalakan api solidaritas, Soeharto yang memformalkan hubungan diplomatik Palestina, hingga Prabowo Subianto yang turun tangan langsung dalam upaya perdamaian Gaza, Indonesia telah menulis tiga babak sejarah yang saling menyambung.
Langkah Prabowo Subianto di saat penderitaan ekstrem rakyat Palestina, telah membuat dunia mengenang Indonesia bukan hanya sebagai sahabat Palestina, tetapi sebagai arsitek moral dan mediator perdamaian yang nyata di Timur Tengah.
"Indonesia telah menunjukkan komitmennya yang tulus dan berkelanjutan untuk mendukung perjuangan Palestina. Dukungan ini bukan hanya tentang bantuan kemanusiaan, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat Palestina," kata Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri, dalam sebuah kesempatan terpisah.
Inilah warisan diplomasi kemanusiaan Indonesia yang akan abadi tertoreh dalam sejarah bangsa Palestina. Dukungan ini akan terus berlanjut, seiring dengan harapan akan terwujudnya kemerdekaan dan perdamaian yang abadi bagi Palestina.