Ketika Trump Bicara, Apa Kabar Palestina?

Di tengah perbincangan tentang perdamaian Timur Tengah, perhatian dunia tak pelak tertuju pada Palestina. Inisiatif gencatan senjata yang digagas Donald Trump telah diumumkan, namun pertanyaannya, apakah ini akan menjadi solusi jangka panjang atau sekadar jeda dalam konflik yang tak berkesudahan?
Gencatan Senjata: Jeda atau Titik Balik?
Awal Oktober 2025, kabar baik datang dari Sharm el-Sheikh, Mesir. Gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan setelah dua tahun ketegangan. Inisiatif yang diprakarsai Presiden AS Donald Trump ini berisi 20 poin rencana yang mencakup penghentian permusuhan tahap pertama, pembebasan sandera, dan penarikan pasukan. Pengumuman ini disambut dengan dua perasaan campur aduk: lega karena meredanya kekerasan yang menimpa warga Palestina, namun juga skeptis terhadap komitmen jangka panjang untuk perdamaian.
Sayangnya, beberapa jam setelah kesepakatan damai diumumkan, pesawat tempur Israel dilaporkan menyerang wilayah Zeitoun dan Khan Younis. Seorang saksi mata di Khan Younis menuturkan, "Ledakan keras terdengar, dan asap tebal membubung dari rumah-rumah yang baru saja ditinggalkan." Sementara itu, Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas diharapkan dapat melakukan reformasi di berbagai sektor, termasuk pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan, demi membangun struktur negara yang kredibel sesuai aspirasi rakyat Palestina.
Dampak Gencatan Senjata
Perjanjian ini mengubah konstelasi politik di kawasan. Pemerintah Israel mengumumkan kesepakatan dengan Hamas, membuka jalan bagi penghentian serangan di Gaza. Pasukan Israel pun mulai menarik diri secara bertahap pada Jumat, 10 Oktober 2025. Kantor berita Reuters melaporkan bahwa warga Israel dan Palestina menyambut kabar tersebut dengan sukacita, setelah perang dua tahun yang merenggut nyawa lebih dari 67.000 warga Palestina.
Meskipun Khalil al-Hayya, pemimpin Hamas, mengklaim telah menerima jaminan dari AS dan mediator lain bahwa perang akan berakhir, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru menghadapi tekanan internal setelah menyetujui gencatan senjata ini. Pasalnya, perjanjian tahap awal ini dinilai belum menyentuh akar permasalahan, seperti status politik Gaza, proses demiliterisasi yang kredibel, pengaturan keamanan jangka panjang, serta mekanisme pemerintahan yang menjamin hak-hak sipil dan politik rakyat Palestina. Tanpa rencana politik yang komprehensif, jeda operasi militer ini berpotensi menjadi jeda sementara sebelum kekerasan kembali merebak.
Presiden Trump dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah pada Minggu, 12 Oktober 2025, untuk menghadiri penandatanganan perjanjian di Mesir. Ia juga diundang untuk berpidato di Knesset, Parlemen Israel. "Saya berharap tujuan saya dapat mewujudkan perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah," ujar Trump sebelum keberangkatannya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Tom Fletcher, berharap gencatan senjata ini tidak menjadi harapan palsu bagi masyarakat Palestina dan komunitas internasional. "Konflik ini harus diakhiri, dan perdamaian abadi harus terwujud," tegasnya.
Rekonstruksi Gaza
Setelah gencatan senjata disepakati, pasukan Israel mulai menarik diri dari sejumlah wilayah di Gaza. Hal ini memberikan kesempatan bagi warga Gaza untuk kembali ke rumah mereka, meskipun sebagian besar hancur akibat perang. Lebih dari sekadar membangun kembali rumah, rekonstruksi Gaza berarti menghidupkan kembali seluruh ekosistem sosial-ekonomi.
Skala Kerusakan dan Kebutuhan
Ismail Zayda (40), seorang warga Gaza, menggambarkan situasi pasca-gencatan senjata sebagai "kekacauan, bangunan rata dengan tanah, seluruh distrik lenyap, rasa takut dan ketidakpastian masih menyelimuti." Bantuan sosial mulai berdatangan ke Gaza untuk membantu ratusan ribu warga sipil yang tinggal di tenda-tenda.
Penilaian bersama Bank Dunia, Uni Eropa, dan PBB pada Februari 2025 memperkirakan kebutuhan rekonstruksi mencapai sekitar US$53,2 miliar untuk dekade mendatang, dengan kebutuhan mendesak sekitar US$20 miliar dalam tiga tahun pertama. Angka ini menggarisbawahi bahwa kekayaan finansial dan teknologi perlu diperkuat dengan koordinasi politik dan mekanisme yang menjamin akses, transparansi, dan perlindungan hak-hak penduduk selama fase rekonstruksi.
Peran Komunitas Internasional
Komitmen finansial tanpa pengaturan politik yang aman berisiko menimbulkan masalah baru, seperti korupsi, penguatan aktor yang memperkuat ketidaksetaraan, atau rekonstruksi yang mengabaikan kebutuhan korban yang paling rentan. Peran komunitas internasional, termasuk negara donor, lembaga internasional, LSM, dan aktor regional seperti Mesir, Qatar, dan Turki, menjadi sangat penting. Rekonstruksi idealnya harus didasarkan pada prinsip do no harm, inklusif, dan dipimpin oleh kebutuhan lokal.
Penentuan bentuk rekonstruksi, seperti perumahan, layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi, listrik, serta pemulihan mata pencaharian, harus melibatkan perwakilan organisasi sipil Palestina agar kebijakan tidak menjadi alat politik untuk meraih legitimasi jangka pendek. Laporan Interim Rapid Damage and Needs Assessment (IRDNA) menekankan bahwa prakarsa donor tanpa mekanisme partisipasi lokal justru berbahaya.
Komitmen Kemanusiaan
Dimensi kemanusiaan tidak boleh diabaikan. Banyaknya korban jiwa dan luka-luka, trauma kolektif, serta kehancuran infrastruktur publik menggores generasi mendatang. Data resmi yang dirilis oleh organisasi kemanusiaan dan otoritas kesehatan di Gaza menunjukkan puluhan ribu korban jiwa, dengan jumlah terus bertambah seiring verifikasi data.
Data tersebut menjadi alasan moral mengapa rekonstruksi harus didahului oleh jaminan keamanan dan akses kemanusiaan yang tidak dapat diintervensi secara politis. "Akses kemanusiaan yang aman dan berkelanjutan adalah prioritas utama," kata juru bicara Palang Merah Internasional di Gaza.
Komitmen Trump dan pemerintah AS dalam penyelesaian konflik sering kali bergantung pada agenda domestik dan pergantian kepemimpinan. Meski Trump mengklaim berhasil menggalang koalisi regional dan internasional untuk mendorong Israel dan Hamas menerima fase awal perjanjian, komitmen jangka panjang membutuhkan konsistensi kebijakan, dukungan anggaran berkelanjutan, serta mekanisme pengawasan dan akuntabilitas internasional yang kuat.
Indonesia dan Pesan Perdamaian
Indonesia dapat menawarkan pengalaman membangun koeksistensi lintas agama, advokasi untuk solusi berbasis hak asasi manusia, dan penekanan pada keadilan transisional inklusif. Indonesia dapat berperan sebagai jembatan moral dan diplomatik, memfasilitasi suara masyarakat sipil Palestina di forum internasional, mendorong donor untuk menerapkan prinsip transparansi, dan menegaskan bahwa rekonstruksi harus melindungi warisan sipil serta pluralitas sosial.
Pengalaman historis Indonesia dalam rekonsiliasi pasca-konflik dapat menjadi referensi relevan. Peran moral harus disertai komitmen praksis dari negara-negara donatur, meliputi: (1) paket pendanaan multiyear yang terikat pada hasil konkret (recovery milestones); (2) jaminan akses aman untuk bantuan dan pekerja rekonstruksi melalui mekanisme internasional yang disepakati; serta (3) dukungan untuk rekonstruksi yang dipimpin lokal, melalui dana yang dikelola kolektif oleh lembaga internasional dan otoritas sipil Palestina untuk memastikan partisipasi dan akuntabilitas.
Solusi dua negara menghadapi tantangan besar: berkurangnya kepercayaan, ekspansi pemukiman di Tepi Barat, serta bahaya fragmentasi politik internal Palestina. Momentum politik yang jelas harus menghubungkan gencatan senjata di Gaza dan perundingan politik yang lebih luas yang menghormati hak kewarganegaraan, batas-batas yang diterima, dan jaminan keamanan. Peranan dari negara-negara Asia, Liga Arab, dan organisasi internasional penting dalam menyeimbangkan pengaruh dan menawarkan jalur diplomasi yang inklusif.
Publik Indonesia dan komunitas global harus menuntut transparansi. Klaim keberhasilan broker perdamaian harus diikuti dengan akses terbuka untuk pengamat independen, laporan berkala tentang implementasi, serta keterlibatan aktor kemanusiaan untuk memantau kondisi lapangan. Komitmen politik tanpa mekanisme evaluasi dan akuntabilitas rentan. Bantuan dan proses rekonstruksi harus diarahkan pada pemulihan prestasi publik melalui pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.