Rencana AS Kelola Gaza Satu Dekade Dikecam, Kenapa?

Amerika Serikat tengah menuai badai kritik terkait rencananya untuk ikut campur tangan dalam pengelolaan Jalur Gaza. Usulan yang ambisius ini, yang kabarnya bahkan tertuang dalam prospektus setebal 38 halaman, dianggap sejumlah pihak sebagai upaya halus untuk mencaplok tanah Palestina.
Rencana AS Kelola Gaza: Mimpi Indah atau Mimpi Buruk?
Ide ini sebenarnya bukan barang baru. Februari lalu, mantan presiden AS sempat melempar wacana untuk mengubah Gaza menjadi "Riviera Timur Tengah" di bawah kendali Amerika. Namun, gagasan tersebut langsung ditolak mentah-mentah, tak hanya oleh warga Palestina, tetapi juga negara-negara Arab. Penolakan ini didasari kekhawatiran akan terulangnya tragedi "Nakba" tahun 1948, peristiwa pahit saat ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah air mereka.
Detail Rencana yang Kontroversial
Prospektus yang bocor ke publik mengungkap ambisi besar AS. Bukan sekadar pembangunan infrastruktur, melainkan juga relokasi penduduk Gaza, baik secara "sukarela" ke negara lain, maupun ke zona aman di dalam Gaza. Tujuannya? Mengubah Gaza menjadi magnet pariwisata dan pusat teknologi tinggi yang akan menarik investasi dan membuka lapangan kerja. Namun, rencana relokasi inilah yang menjadi ganjalan utama. Warga Palestina curiga ini adalah taktik untuk membersihkan etnis dan menguasai tanah mereka secara permanen.
Hamas Berang: "Gaza Tidak Dijual!"
Reaksi keras datang dari Hamas, kelompok yang berkuasa di Jalur Gaza. Juru bicara Hamas, Bassem Naim, dengan nada berapi-api menyatakan, "Gaza tidak untuk dijual!" Baginya, Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari Palestina. "Upaya mencabut kami dari tanah kami adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tak bisa ditoleransi," tegasnya. Seorang pejabat Hamas lain yang enggan disebutkan namanya menambahkan bahwa mereka menolak segala rencana yang menelantarkan rakyat Palestina dan melanggengkan penjajahan. "Rencana itu tidak adil dan tidak berarti," ujarnya, seraya menambahkan bahwa Hamas tidak pernah diajak berunding terkait rencana ini.
Mengapa Rencana AS Ditolak?
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Warga Palestina melihat rencana AS sebagai bentuk penjajahan modern yang merampas hak mereka atas tanah air. Relokasi, bahkan yang "sukarela" sekalipun, dikhawatirkan akan mengubah demografi Gaza dan menghapus identitas Palestina. Rencana ini juga dianggap tidak realistis dan mengabaikan akar konflik Israel-Palestina. Tanpa solusi adil untuk masalah pendudukan Israel dan hak pengembalian pengungsi Palestina, pembangunan ekonomi di Gaza akan sia-sia. Selain itu, muncul keraguan akan ketulusan AS, yang selama ini dianggap lebih berpihak pada Israel. "AS selalu mendukung Israel, jadi sulit percaya mereka akan bertindak demi kepentingan kami," kata seorang warga Gaza.
Reaksi Internasional yang Beragam
Reaksi dunia internasional terhadap rencana ini bervariasi. Negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania secara implisit menolak dan menegaskan dukungan mereka terhadap solusi dua negara serta hak-hak rakyat Palestina. "Stabilitas kawasan hanya bisa dicapai dengan solusi adil dan komprehensif untuk isu Palestina," tegas Kementerian Luar Negeri Yordania. Negara-negara Eropa cenderung lebih hati-hati, menekankan pentingnya dialog dan negosiasi untuk perdamaian yang berkelanjutan. Namun, beberapa negara Eropa juga menyuarakan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia akibat rencana relokasi.
Rencana AS untuk mengelola Gaza selama satu dekade ke depan tampaknya terjal menghadapi tembok penolakan. Tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak, impian membangun Gaza yang lebih baik hanya akan menjadi ilusi. Situasi saat ini menunjukkan bahwa perdamaian dan stabilitas di Gaza hanya mungkin tercapai melalui solusi politik yang adil dan komprehensif, yang menghormati hak-hak rakyat Palestina dan mengakhiri pendudukan Israel. Masa depan Gaza masih suram, kecuali ada perubahan signifikan dalam pendekatan dan komitmen dari semua pihak yang terlibat.