Palestina Diakui, Apa Sebenarnya Dampaknya dan Kenapa Sekarang?

Palestina, sebuah isu yang terus membara dalam politik global, merupakan pusaran kompleks dari sejarah panjang, klaim teritorial yang diperebutkan, dan aspirasi nasional yang belum terwujud. Pengakuan atas Palestina sebagai sebuah negara berdaulat masih menjadi perdebatan sengit di antara negara-negara, organisasi internasional, dan berbagai kelompok kepentingan. Lantas, apa dampak pengakuan ini, mengapa isu ini kembali mencuat, dan bagaimana implikasinya bagi stabilitas Timur Tengah?
Status Palestina: Antara Ada dan Tiada
Palestina kini berada dalam situasi unik. Di satu sisi, keberadaannya diakui oleh mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan misi diplomatik yang tersebar di berbagai negara. Palestina pun aktif berpartisipasi di forum internasional, bahkan mengirimkan atlet ke Olimpiade. Namun, di sisi lain, Palestina menghadapi kenyataan pahit: batas wilayah yang belum jelas, ibu kota yang belum disepakati, dan ketiadaan angkatan bersenjata yang berdaulat.
Pendudukan militer Israel di Tepi Barat membatasi kendali Otoritas Palestina, yang lahir dari Perjanjian Oslo di era 1990-an, atas wilayah dan penduduknya. Sementara itu, Jalur Gaza terus dilanda konflik berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan parah dan penderitaan kemanusiaan yang meluas.
Simbolisme Pengakuan
Dalam situasi serba ambigu ini, pengakuan terhadap Palestina sebagai negara adalah tindakan yang penuh makna. Lebih dari sekadar deklarasi politik, pengakuan ini adalah representasi kuat dari dukungan moral dan komitmen terhadap hak-hak rakyat Palestina. Namun, perlu diingat bahwa pengakuan ini mungkin tidak secara otomatis mengubah situasi di lapangan.
"Pengakuan ini adalah langkah penting dalam menegaskan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri," ujar seorang analis politik Timur Tengah di London. Simbolisme ini berakar pada sejarah panjang dan kompleks kawasan tersebut. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, dalam pidatonya di PBB bulan Juli lalu, menegaskan tanggung jawab historis Inggris, khususnya terkait Deklarasi Balfour 1917 yang mendukung pembentukan "tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina."
Inggris, yang memegang mandat atas wilayah tersebut dari tahun 1922 hingga 1948, menghadapi tugas yang sulit: menyeimbangkan dukungan terhadap aspirasi Yahudi dengan perlindungan hak-hak mayoritas Arab Palestina. Konflik kepentingan ini, ditambah dengan meningkatnya ketegangan antara kedua komunitas, memicu kerusuhan dan ketidakstabilan selama beberapa dekade.
Siapa Saja yang Mengakui Palestina?
Saat ini, lebih dari 75% dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Di PBB, Palestina memiliki status "negara pengamat tetap," yang memungkinkannya berpartisipasi aktif dalam forum PBB, meskipun tanpa hak suara. Jika negara-negara seperti Inggris dan Prancis, serta Kanada, Australia, Belgia, dan Malta bergabung dalam barisan pendukung, Palestina akan menikmati dukungan dari empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. China dan Rusia telah mengakui Palestina sejak 1988.
Mengapa Sekarang?
Keputusan untuk mengakui Palestina, terutama di saat seperti ini, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Meskipun beberapa pemerintahan telah lama mendukung solusi dua negara, momentum pengakuan tampaknya meningkat karena beberapa alasan: tragedi kemanusiaan di Gaza, kemarahan publik global atas operasi militer Israel, dan perubahan signifikan dalam opini publik.
"Perkembangan situasi di lapangan telah memaksa banyak negara untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka," kata seorang diplomat senior dari sebuah negara Eropa. Beberapa negara, seperti Kanada, telah mengaitkan pengakuan mereka dengan persyaratan tertentu, seperti komitmen Otoritas Palestina untuk mereformasi diri, menyelenggarakan pemilihan umum pada tahun 2026, dan mendemiliterisasi negara Palestina.
Alasan Penolakan
Bagi negara-negara yang belum mengakui Palestina, alasan utamanya seringkali terkait dengan perlunya negosiasi langsung dengan Israel. Mereka berpendapat bahwa kemerdekaan Palestina harus dicapai melalui proses perdamaian yang dinegosiasikan, bukan melalui pengakuan unilateral.
"Beberapa negara khawatir bahwa mengakui Palestina sebelum adanya kesepakatan damai akan merusak prospek perdamaian," jelas seorang analis politik di Washington. Israel sendiri menentang keras tawaran keanggotaan penuh Palestina di PBB. Duta Besar Israel untuk PBB bahkan menyebut diskusi tentang keanggotaan Palestina "sudah merupakan kemenangan bagi terorisme."
Posisi Amerika Serikat
Amerika Serikat telah lama memainkan peran kunci dalam proses perdamaian Israel-Palestina. Meskipun beberapa pemerintahan AS sebelumnya telah menyatakan dukungan untuk solusi dua negara, posisi AS secara historis condong ke arah dukungan terhadap Israel. Pemerintahan mantan Presiden Donald Trump secara terbuka menentang pengakuan negara Palestina, bahkan semakin mengeras menjadi penentangan langsung terhadap konsep kemerdekaan Palestina.
"Pemerintahan AS saat ini percaya bahwa pengakuan unilateral terhadap Palestina akan kontraproduktif terhadap upaya perdamaian," kata seorang sumber di Departemen Luar Negeri AS. Menteri Luar Negeri AS juga berpendapat bahwa pengakuan semacam itu hanya akan "memperkuat" Hamas dan berpotensi memprovokasi Israel untuk mencaplok Tepi Barat.
Arti Pengakuan di PBB
Palestina saat ini memegang status negara pengamat non-anggota di PBB, sebuah posisi yang memberikan hak untuk berpartisipasi dalam perdebatan dan pertemuan, tetapi tidak memberikan hak suara. Pada tahun 2011, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh PBB, tetapi upaya ini gagal karena kurangnya dukungan di Dewan Keamanan.
Pada Mei 2024, Majelis Umum PBB meningkatkan hak-hak Palestina dalam organisasi tersebut dan mendesak agar Palestina diterima sebagai anggota penuh. Resolusi tersebut memungkinkan Palestina untuk mengambil bagian penuh dalam perdebatan, mengusulkan agenda penting, dan memilih perwakilannya dalam komite, tetapi tidak memberikan hak suara. Keanggotaan penuh hanya dapat diberikan oleh Dewan Keamanan PBB, di mana Amerika Serikat memiliki hak veto.
Meskipun menjadi anggota penuh PBB tidak akan secara otomatis menyelesaikan konflik Israel-Palestina, langkah ini akan memberikan Palestina pengaruh diplomatik yang lebih besar dan kemampuan untuk berpartisipasi lebih aktif dalam forum internasional. Pengakuan resmi oleh lebih banyak negara juga dapat memberikan legitimasi yang lebih besar pada perjuangan rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Namun, seperti yang dicatat oleh para ahli, solusi nyata hanya dapat dicapai melalui negosiasi yang jujur dan komitmen terhadap perdamaian.