Kisah di Balik Susahnya Warga Palestina Menginjakkan Kaki di Amerika

Kebijakan Amerika Serikat semakin memperketat akses masuk bagi warga Palestina, bahkan berimbas pada penolakan visa Presiden Mahmoud Abbas. Langkah ini sontak menuai kritik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen AS terhadap proses perdamaian di Timur Tengah.
Pencabutan dan Penolakan Visa: Apa yang Terjadi?
Pemerintahan Presiden Trump sebelumnya telah mengambil langkah kontroversial dengan menolak dan mencabut visa sejumlah pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat. Keputusan ini diambil menjelang Sidang Umum PBB, dengan alasan bahwa tindakan mereka dianggap "merusak prospek perdamaian." Tak hanya itu, AS juga menuding mereka gagal menolak ekstremisme dan berupaya mendorong "pengakuan sepihak" atas negara Palestina.
Alasan di Balik Kebijakan Kontroversial
Departemen Luar Negeri AS berdalih bahwa penolakan visa didasarkan pada tuduhan bahwa PLO dan Otoritas Palestina tidak memenuhi komitmen mereka dalam memerangi ekstremisme. Upaya Palestina untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara secara sepihak juga dinilai menghambat proses perdamaian dengan Israel. Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS yang enggan disebutkan namanya menegaskan, "Ini demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka." Tuduhan ini dibantah keras oleh pihak Palestina, yang menyatakan bahwa negosiasi yang dimediasi AS selama puluhan tahun justru gagal mengakhiri pendudukan Israel.
Dampak Langsung pada Presiden Abbas
Kebijakan ini berdampak langsung pada rencana perjalanan Presiden Mahmoud Abbas. Ia terpaksa membatalkan kehadirannya di Sidang Umum PBB di New York. Langkah ini menuai kecaman dan dinilai melanggar "perjanjian markas besar" PBB tahun 1947, yang mewajibkan AS untuk memberikan akses kepada diplomat asing ke markas PBB. Pihak Palestina menyatakan keterkejutan dan ketidaksetujuannya atas keputusan tersebut. Meskipun "perjanjian markas besar" PBB mengharuskan AS memberikan akses bagi diplomat asing ke markas PBB di New York, Washington berdalih dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri. Diketahui, Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak oleh keputusan yang diumumkan pada Jumat, 29 Agustus .
Reaksi Internasional: Kecaman dan Kekhawatiran
Penolakan visa terhadap pejabat Palestina memicu kritik keras dari berbagai pihak, termasuk PBB dan negara-negara Eropa. Mereka menekankan pentingnya akses tanpa pembatasan ke Sidang Umum PBB. Banyak pihak menilai kebijakan AS ini kontraproduktif dan dapat menghambat upaya perdamaian di Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, bahkan menegaskan bahwa pertemuan Sidang Umum PBB seharusnya tidak dikenakan pembatasan akses apa pun.
PBB dan Eropa Bersuara
PBB menyatakan akan membahas masalah visa ini dengan Departemen Luar Negeri AS, sesuai dengan perjanjian markas besar PBB. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyatakan, "Kami akan menindaklanjuti masalah ini dengan pihak AS untuk memastikan bahwa kewajiban kami sesuai dengan perjanjian markas besar PBB terpenuhi." Negara-negara Eropa, seperti Prancis, juga menyuarakan seruan senada, meminta AS untuk mengizinkan akses masuk bagi delegasi Palestina.
Penangguhan Visa Massal: Dampak Luas bagi Warga Palestina
AS memperluas pembatasan visa dengan menangguhkan persetujuan visa bagi hampir semua pemegang paspor Palestina. Kebijakan ini berdampak signifikan pada warga Palestina yang ingin bepergian ke AS untuk berbagai keperluan, termasuk perawatan medis, kuliah, atau perjalanan bisnis. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian bagi banyak warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan komunitas diaspora.
Implikasi Penangguhan Visa
Penangguhan visa ini mencegah banyak warga Palestina dari Tepi Barat dan komunitas diaspora untuk mendapatkan visa non-imigran. Dampaknya terasa di berbagai aspek kehidupan, mulai dari akses ke perawatan medis yang lebih baik, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, hingga peluang bisnis yang lebih luas. Langkah ini menuai kecaman dari kelompok-kelompok pro-Palestina, yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. AS sebelumnya mengeluarkan ribuan visa kunjungan kepada pemegang dokumen perjalanan Otoritas Palestina. Penangguhan ini tentu memutus akses bagi banyak warga Palestina yang bergantung pada visa tersebut.
Jawaban AS atas Kritik
Departemen Luar Negeri AS menyatakan keterbukaannya untuk kembali terlibat jika Otoritas Palestina/PLO memenuhi kewajiban mereka dan mengambil langkah konkret untuk kembali ke jalur kompromi yang konstruktif dan hidup berdampingan secara damai dengan negara Israel. "Kami mendesak PLO dan Otoritas Palestina untuk secara konsisten menolak terorisme," tegas Departemen Luar Negeri AS.
AS tetap bersikeras bahwa Otoritas Palestina harus menunjukkan komitmen yang lebih kuat terhadap perdamaian dan menghentikan tindakan yang dianggap merugikan proses tersebut. Misi Palestina untuk PBB, yang terdiri atas para pejabat yang bermarkas permanen di sana, tidak terkena dampak pembatasan tersebut.
Kebijakan pembatasan visa terhadap warga Palestina ini terus menjadi sorotan. Sementara AS berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendorong perdamaian, banyak pihak berpendapat bahwa kebijakan ini justru merugikan rakyat Palestina dan menghambat upaya perdamaian yang berkelanjutan. Situasi ini memerlukan solusi yang komprehensif dan inklusif, dengan mempertimbangkan hak dan kepentingan semua pihak yang terlibat.