Perdana Menteri Australia Tidak Ambil Pusing Cibiran Netanyahu Soal Palestina

PM Australia Anthony Albanese menanggapi santai cibiran tajam dari PM Israel Benjamin Netanyahu terkait rencana Australia mengakui negara Palestina. Albanese menegaskan dirinya selalu menghormati para pemimpin negara lain, meski pandangan mereka berbeda.
Reaksi Dingin Albanese Atas Kritik Pedas Netanyahu
Netanyahu Melontarkan Serangan Verbal
Ketegangan antara Australia dan Israel memanas setelah Australia mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina di Majelis Umum PBB pada September mendatang. Netanyahu, melalui media sosial kantornya, menyebut Albanese sebagai "politikus lemah yang mengkhianati Israel" dan "menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia." Pernyataan itu tentu saja menambah buruk hubungan yang sudah renggang.
Tak tinggal diam, Menteri Dalam Negeri Australia Tony Burke menanggapi komentar Netanyahu dengan sindiran pedas. "Kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan atau berapa banyak anak yang bisa Anda biarkan kelaparan," ujarnya, menyiratkan kekecewaan atas gaya retorika Netanyahu yang konfrontatif.
Albanese Memilih Diplomasi
Berbeda dengan Burke, Albanese memilih jalur diplomasi yang lebih tenang. Ia tak menganggap serangan Netanyahu sebagai masalah pribadi. "Saya tidak menganggap hal-hal seperti ini personal. Saya berinteraksi dengan orang-orang secara diplomatis. Dia juga pernah mengatakan hal serupa tentang para pemimpin lainnya," kata Albanese dalam konferensi pers pada Rabu (20/8/2025). Ia menegaskan prinsip saling menghormati dalam hubungan internasional, walau ada perbedaan pendapat yang mendalam.
Sebelum pengumuman resmi, Albanese mengaku telah menyampaikan informasi mengenai keputusan Australia untuk mendukung negara Palestina kepada Netanyahu. "Saat itu, saya memberikan indikasi yang jelas kepada Perdana Menteri Netanyahu mengenai pandangan saya dan pandangan Australia ke depannya, juga indikasi yang jelas tentang arah yang kami tuju," jelasnya. Albanese menambahkan bahwa ia memberi Netanyahu kesempatan untuk menguraikan solusi politik yang mungkin ada.
Pemicu Tegangnya Hubungan Australia-Israel
Pengakuan Palestina Oleh Australia Jadi Biang Kerok
Keputusan Canberra untuk mengakui negara Palestina menjadi pemicu utama ketegangan ini. Pemerintah Australia berpendapat bahwa pengakuan ini adalah langkah penting menuju solusi dua negara yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina. Australia meyakini pengakuan ini akan memberikan harapan dan martabat bagi rakyat Palestina, serta mendorong kedua pihak untuk kembali berunding.
Keputusan Australia sejalan dengan meningkatnya dukungan internasional untuk pengakuan negara Palestina. Sejumlah negara telah resmi mengakui Palestina, dan komunitas internasional semakin terdorong untuk mengambil tindakan lebih lanjut guna mendukung hak-hak rakyat Palestina.
Pembatalan Visa Memperkeruh Suasana
Hubungan kedua negara semakin runyam setelah Australia membatalkan visa anggota parlemen Israel, Simcha Rothman, yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan Netanyahu. Pemerintah Australia beralasan bahwa pidato Rothman yang direncanakan di Australia akan "menyebarkan perpecahan".
Sebagai balasan, Tel Aviv mencabut visa perwakilan Australia untuk Otoritas Palestina. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyebut langkah itu sebagai respons atas "keputusan Australia untuk mengakui 'negara Palestina' dan dengan latar belakang penolakan Australia yang tidak beralasan untuk memberikan visa kepada sejumlah tokoh Israel".
Aksi saling balas ini mencerminkan betapa seriusnya kedua negara memandang perbedaan pendapat mereka mengenai isu Palestina.
Langkah Australia mengakui Palestina dianggap sebagai perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri. Sebelumnya, Australia telah lama mendukung solusi dua negara, tetapi tidak secara eksplisit mengakui negara Palestina. Perubahan ini menunjukkan komitmen yang lebih kuat dari Australia untuk mencari penyelesaian yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina.
Sebaliknya, Israel sangat menentang pengakuan negara Palestina secara unilateral. Israel berpendapat bahwa pengakuan semacam itu merusak proses perdamaian dan hanya akan mendorong rakyat Palestina untuk menghindari perundingan langsung.
Meski demikian, Australia tetap teguh pada pendiriannya. Albanese meyakini bahwa mengakui negara Palestina adalah hal yang benar untuk dilakukan, dan ia berkomitmen untuk terus bekerja dengan semua pihak untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan di Timur Tengah.
Australia juga akan terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina dan mendukung pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Pemerintah Australia percaya bahwa dengan membantu meningkatkan kondisi kehidupan rakyat Palestina, hal itu dapat berkontribusi pada stabilitas dan perdamaian jangka panjang di kawasan itu.
Walaupun hubungan dengan Israel saat ini sedang tegang, Australia berharap dapat melanjutkan dialog konstruktif dengan pemerintah Israel di masa depan. Australia percaya bahwa penting untuk menjaga saluran komunikasi tetap terbuka antara kedua negara, terutama pada saat-saat sulit seperti ini.
Implikasi dari pengakuan Australia terhadap Palestina masih akan terus berkembang. Langkah ini berpotensi memicu negara-negara lain untuk mengikuti jejak Australia dan mengakui Palestina secara resmi, yang dapat meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel untuk kembali ke meja perundingan dan mencari solusi damai. Namun, hal ini juga dapat semakin memperburuk ketegangan di kawasan dan menghambat upaya perdamaian di masa depan. Dunia akan terus memantau perkembangan situasi ini dalam beberapa bulan mendatang.